Kebanyakan orang berpikir bahwa bisnis (wirausaha) itu terlalu beresiko, dan bekerja atau menjadi pekerja tidak banyak resiko. Benarkah demikian???
Cobalah melihat statistik yang dibuat oleh sebuah industri asuransi di Amerika Serikat. Dari 100 orang yang pensiun hari ini :
- 1 orang (1 %) akan menjadi kaya
- 4 orang (4%) akan bebas secara finansial
- 15 orang (15%) akan mempunyai tabungan
- 80 orang (80%) tergantung sama dana pensiun, tetap bekerja atau menjadi bangkrut.
Orang-orang di atas telah bekerja dengan gaji tinggi seumur hidup di lingkungan yang paling berpengaruh (eksekutif di banyak perusahaan).
Bagaimana dengan para pekerja yang biasa-biasa saja, dengan gaji yang pas-pasan? Bagaimana dengan para pekerja di Indoensia?
Pernahkah kita memperhatikan di sekeliling kita, di mana banyak orang saat bekerja mereka terlihat kaya, namun begitu pensiun, tidak lama kemudian mereka menjadi miskin/bangkrut?
Salah satu faktor utama mengapa itu terjadi adalah, kebanyakan orang tidak mampu atau tidak mau melihat dan membuat tujuan jangka panjang. Mereka selalu berpikir, hari ini punya uang berapa dan akan digunakan untuk apa. Mereka tidak tahu bagaimana menyederhanakan keperluan dan bahkan bagaimana menginvestasikan uangnya.
Pola pikir seperti ini, akan membuat berapapun uang yang dipegang akan selalu habis. Sebuah contoh cerita kasus :
Abu berumur 30 tahun bekerja pada sebuah perusahaan dengan pendapatan yang cukup lumayan, sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Uang itu sebenarnya cukup, bahkan bisa disisakan untuk kebutuhan jangka panjang, karena Abu dan keluarganya tinggal di sebuha kota kecil. Namun apa yang terjadi?
Uang Abu selalu habis, karena hidupnya yang konsumtif, dan berorientasi pada mencari kesenangan, bahkan uangnya telah habis sebelum dia mendapatkan gaji bulan berikutnya. Pengeluaran uangnya menjadi seperti ini :
- 2 juta untuk cicilan rumah dan motor.
- 750 juta untuk keperluan sekolah 2 anaknya.
- 1 juta untuk kebutuhan belanja sehari-hari.
- 750 ribu untuk pembantu, listrik, dan telepon.
Kalaupun ada tunjangan atau bonus dari perusahaan akan segera habis untuk biaya rekreasi atau berlibur bersama keluarga.
Terlihat dengan jelas, betapa uang sebesar itu menjadi begitu kurang. Karena kebiasaan untuk menghabiskan uang sudah menjadi mentalnya.
10 tahun kemudian, ketika Abu sudah berumur 40 tahun, gajinya sudah naik menjadi 7,5 juta. Namun, gajinya terasa pas-pasan. Pengeluaran bulanannya menjadi seperti ini :
- 1,5 juta untuk cicilan mobil
- 1,5 juta untuk cicilan rumah, (pinjaman uang untuk renovasi rumah menjadi lebih besar dan bagus).
- 1,5 juta untuk kebutuhan sekolah 2 anaknya.
- 1,5 juta untuk kebutuhan sehari-hari. (kadang-kadang makan di restorant)
- 1,5 juta untuk pembantu, biaya listrik dan telepon (yang semuanya semakin membesar).
Tentu saja gaji bulanan segera habis setiap bulannya, atau bahkan habis sebelum gaji bulan berikutnya. Bonus (insentif) dari perusahaan juga selalu dihabiskan, karena kebutuhan-kebutuhan mendesak di luar pengeluaran rutin, seperti ada anggota keluarga yang sakit, service mobil, mengganti ornamen rumah dan isisnya dan lain-lain.
20 tahun kemudian, di saat umurnya telah mencapai 50 tahun. Gajinya sudah mencapai 10 juta per bulannya. Dia memiliki keinginan untuk membeli sebuah rumah yang akan di berikan kepada 2 anaknya yang mau menikah. Pengeluaran untuk kebutuhan anak-anaknya sudah tidak ada karena anaknya yang satu sudah bekerja dan merencakan untuk berkeluarga, sedang yang satunya masih kuliah di sebuah perguruan tinggi. Dia beli sebuah rumah dengan cicilan selama 10 tahun. Bagaimana pengeluaran bulanannya?
- 2,5 juta untuk cicilan rumah (rumah baru untuk diberikan pada anaknya)
- 2,5 juta untuk cicilan mobil (mobil baru yang lebih bagus, karena mobil lama sudah tidak enak dipakai).
- 1 juta untuk kebutuhan kuliah anaknya.
- 2,5 juta untuk kebutuhan sehari-hari (semakin tua kebutuhan makan dan jalan-jalan/ rekereasi semakin sering)
- 500 ribu untuk biaya perawatan kesehatan keluarga. (semakin tua sudah semakin sakit-sakitan)
- 1,5 juta untuk pembantu, biaya listrik, telpon dan operasional lainnya.
5 tahun kemudian, atau umur 55 tahun ketika Abu pensiun, dia mendapatkan pesangon cukup besar 450 juta (45 kali gaji). Uang yang cukup besar untuk orang rata-rata. Segera dia merencanakan penggunaan uangnya.
- 100 juta untuk melunasi rumah baru yang dia beli.
- 50 juta untuk rehab rumah.
- 75 juta untuk mengganti mobilnya dengan yang baru. (mobil lama sudah terasa tidak nyaman, apalagi karena umurnya sudah semakin tua)
- Sisanya 225 juta akan di tabung dan dinvestasikan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Abu merencanakan bahwa uang itu cukup untuk bekal di hari tuanya.
Namun apa yang terjadi dengan uang 225 juta?
- 200 juta dia investasikan untuk kos-kosan. Memiliki 12 kamar. Perkama 300 ribu per bulan. Dia punya uang 3,6 juta tiap bulan.
- 25 juta sisanya untuk hidup selama 1 tahun, karena kos-kosan perlu waktu sampai laku semua.
- Karena sadar akan segera memasuki masa pensiun, Abu segera merubah kebiasaan pengeluaran rutin bulanan menjadi 3 juta per bulan. Semula hal itu terasa berat karena terbiasa dengan gaya hidup yang tinggi (10 juta tiap belum belum bonus), sehingga penyederhanaan ini semula atau 2 tahun pertama membuat dia tersiksa.
- 30 juta biaya tambahan untuk menikahkan anaknya. Kebutuhan tidak terencana, dan terpaksa Abu pinjam di bank.
- 25 juta pinjam di bank lagi, karena istri Abu tiba-tiba sakit, dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Dulunya anggota keluarganya sudah diasuransikan, namun sekarang, dia sudah tidak memiliki asuransi.
- 1 juta per bulan menjadi pengeluaran rutin untuk perawatan kesehatan istrinya, dan dirinya sendiri karena mulai sering sakit-sakitan.
Berikutnya, pada umur 60 tahun, usaha kos-kosan memberi pendapatan bulanan sebesar 3,5 juta, karena harga kos yang naik. Semula dia berpikir bahwa dengan uang 3,5 juta sudah cukup untuk keperluan bulanannya.
Namun, apa yang terjadi?
Banyak pengeluaran yang tidak terduga di hari tua, sehingga banyak hutang yang harus ditanggung. Abu menjadi tergantung dengan anaknya yang sudah berkeluarga dan telah meniti karir kerja yang cukup mapan. Anaknya yang satu lagi sudah berkeluarga namun belum mendapatkan gaji seperti yang diharapkan. Artinya, Abu dan istrinya sekarang menjadi hidup seadanya. Rumahnya yang cukup besar juga menjadi beban dan merepotkan karena membutuhkan pemeliharaan yang tidak kecil.
Dia menyesal, kenapa dulu tidak membuat perencanaan untuk kebutuhan masa depannya? Dan menabung sejak dulu-dulu?
Dia menyesal, kenapa dari dulu dia tidak belajar untuk membuat usaha sampingan atau menginvestasikan uangnya? (Usaha kos-kosan menjadi tidak berkembang, karena pendapatan dari usaha itu juga selalu habis untuk menutup kebutuhan bulanannya, atau tidak ada uang sisa untuk mengembangkan usahanya)
Dia menyesal kenapa dulu dia terlalu boros dan konsumtif, dan tidak mampu menyederhanakan keperluannya?
Dia menyesal, karena keinginannya untuk naik haji sampai sekarang belum terlaksana. Dia menyesal, kenapa tidak banyak bersedekah? Menyumbang masjid atau yatim piatu?
Dia menyesal, karena telah begitu banyak menyia-nyiakan masa mudanya untuk hal-hal yang boros dan mubadzir, tidak produktif dan hanya mencari kesenangan sesaat.
Pada umur 65 tahun, setelah menghadapi kehidupan yang memprihatinkan (menurut ukuran Abu) selama hampir 3 tahun, telah memaksanya untuk mampu menerima kenyataan hidupnya sekarang. Dia mulai belajar hidup sederhana, agar tidak menjadi beban anaknya. Sekalipun Abu tahu, salah satu anaknya sudah bekerja bekerja dengan mapan, dan selalu mau membantu dirinya.
Dia juga masih merasa beruntung, sekarang dia kenal dengan seorang ustad dan mulai bisa belajar agama. Sehingga, sekalipun hidup sederhana dan pas-pasan di masa tuanya, dia bisa menjalaninya. Banyaknya sahabatnya yang setelah pensiun malah hidupnya semakin tidak karuan dan jauh dari agama.
Begitulah nasib Abu, memang tidak ekstrim. Namun tetap saja setelah dia bekerja dengan gaji tinggi seumur hidup, seringkali sampai pulang larut malam, tetap saja dia berakhir sebagai orang yang biasa-biasa saja, bahkan nyaris bangkrut dan hidup apa adanya. Banyak keinginannya yang tidak tercapai. Masa mudanya juga lebih banyak mencari kesenangan sesaat, dan tidak banyak bermanfaat untuk orang lain.
Para pekerja lainnya bahkan ada yang bernasib lebih tragis, karena anak-anaknya tidak sukses, dan bahkan bermasalah.
Dan masih banyak lainnya………………………
Benarkah bekerja lebih aman dari pada wirausaha (bisnis sendiri)?
qodoq says
hiii… takut…
mmfaozi says
@ qodoq
wedi opo to doq?
qodoq says
jadi pekerja ama jadi pengusaha kayaknya sama-sama gak aman deh.
mmfaozi says
oo.. I see 😀
Zaenal says
Enak nya ngopo yo?
Fauzi says
waduh, sangar banget…. tp anehnya koq beli rumah ato nyicil rumah terus yah pola pikirnya???
tidak pernah mikir naik haji…. hehehehe
mmfaozi says
Begitu salah satu ciri paradigma pekerja. Coba lihat ke sekeliling kita, teman atau saudara kita yang menjadi pegawai dengan gaji yang cukup tinggi. Maka kebiasaan konsumtif begitu terlihat.
Dan biasanya membeli rumah di anggap sebuah investasi, padahal seringkali belum tentu benar.
Coba kita hitung, bila kita beli rumah dengan harga sekarang sebesar Rp 100 juta. Dengan inflasi tiap tahun 6 % (kalau BBM naik inflasi bisa di atas 10 %) maka sudah seharusnya harga jual rumah sudah pasti harus meningkat di atas inflasi setia tahunnya. Setahun setidaknya harus naik 6 %. jadi tahun berikutnya harus di jual setidaknya 106 juta, itupun baru impas, masih minus pembayaran pajak dan perawatan. dan lain-lain.
Kecuali kalau rumah itu kita buat untuk bisnis.
Moko - Bekasi says
Dalam konsep Three in One (Pelatihan, Sertifikasi, dan Penempatan) sebagai agenda utama Nakertrans. Agenda terakhir, penempatan, adalah yang paling sulit dilakukan. Menjadi ide briliant untuk melakukan kewirausahaan. Baru sebatas “mendengar” tentang metodologi belajar ala “MAISTER” German. Yang sedang dikaji penerapannya. Kabarnya, MAISTER mencetak manusia “sempurna” yang bisa menguasai persoalan teknis persoalan produksi, manajemen, sampai akuntansi, serta mentalitas bikin usaha, bukan bekerja. Cuman aku kehilangan jejak informasi detailnya. barangkali Mr. Faozi bisa memberi perbandingan metode belajar/pelatihan yang demikian. Demi perkembangan masa depan anak bangsa menjadi mandiri yang dibangun lewat edukasi/training. Moga tulisannya bisa cepat, supaya ga ketinggalan issue. Thank You Brother:)
mmfaozi says
Memang yang paling sulit dalam pelatihan skill adalah penempatan untuk lapangan pekerjaan. Apalagi di Indoensia lapangan pekerjaan masih sangat sempit, dengan pengangguran yang sangat tinggi.
Lowongan pekerjaan yang tidak pernah tertutup adalah menjadi pengusaha. So, pilihan berwirausaha adalah solusi yang paling tepat.
Aku minta maaf brother, belum tahu tentang MAISTER German. Kita cari sama-sama saja, siapa yang tahu paling cepat bisa bertukar informasi.
Trainingku sendiri, saya kembangkan berdasarkan prinsip pendidikannya Paulo Freire tentang Pendidikan yang membebaskan atau Pendidikan Kritis, melampaui metode pendidikan liberal. Mempunyai perbedaan yang cukup besar pada paradigma dan metodologinya.
Namun sudah saya kembangkan sendiri berdasar pengalaman dan sumber-sumber lainnya.
Metodologi training kewirausahaan (entrepreneurship) yang saya kembangkan dalam training adalah Metodologi Pendidikan Dialogis Partisipatif. Di mana terjadi hubungan subject-subject (inter subjective) antara fasilitator (trainer) dengan peserta pendidikan. Peserta akan secara aktif terlibat dalam proses belajarnya mulai dari penyusunan harapan dan tujuan sampai bagaimana mencapai target dari sebuah training. Sebuah metodologi pendidikan yang dipengaruhi oleh paradigma pendidikan yang membebaskan.
Metodologi pendidikan tersebut, telah terbukti efektif mendorong perubahan dalam diri peserta pendidikan dalam 3 aspek pencapaian : pengetahuan (knowledge), ketrampilan/keahlian (skill) dan motivasi/sikap/keinginan (attitude).
Ciri-ciri yang bisa membedakan :
1. Trainer adalah fasilitator dan kawan belajar bukan orang yang serba tahu. bukan peserta bertanya trainer menjawab.
2. Peserta training dianggap telah memliki kemampuan, bukan orang bodoh yang dianggap kosong.
3. Ada kesepakatan materi belajar antara trainer dengan peserta, atau sesuai dengan kebutuhan peserta. Bukan rekayasa materi yang dipaksakan kepada peserta. Di mana kerangka desain materi training dibuat setelah ada need assesment.
4. Mendorong partisipasi aktif peserta, bukan trainer berbicara peserta mendengar.
5. Hubungan trainer dengan peserta adalah subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Karena oyeknya adalah materi belajar dan peningkatan kemampuan lainnya. (sesuai target dan harapan).
6. Membahas atau menganalisa realita, bukan fenomena. Sehingga ditemukan masalah yang sesungguhnya.
7. Evaluasi sebagai bahan refleksi, bukan trainer menilai peserta maupun sebaliknya. Sehingga perubahan lahir dari kesadaran diri sendiri, bukan karena faktor luar.
8. Komunikasi 2 arah atau dialogis, bukan satu arah atau monologis.
Dari beberapa ciri di atas, mungkin sepintas sudah bisa diketahui perbedaannya.
Atau kau punya masukan lain???
Moko-Bekasi says
Wah, terima kasih atas bagi-bagi pengetahuannya. Enak ya kalo sudah bisa menerapkan yang demikian. Coba tak serap dulu ya Bang sebelum nanggapi/nanya lagi. Ga masalah kan kalau bolak-balik email..?
mmfaozi says
Siiplah….
Dengan senang hati aku akan selalu suka untuk berbagi.
Hanya minta maaf, kalau kadang-kadang terlambat membalsnya, mohon dimaklumi kalau pas lagi sibuk-sibuknya ngurusin eksspornya.
Dan tolong kasih masukan juga, tentang materi maupun gaya tulisanku, biar bisa semakin baik dalam menulis.
rizal akbar says
Kalau baca artikel seperti ini rasanya semangat lagi untuk terus ber-”entrepreneur” (^_^)
tapi nggak tau kenapa kok rasanya beraaaaat sekali ya menjalani kehidupan sebagai entrepreneur…godaan untuk menyerah itu luar biasa…
Saya adalah entrepeneur, dan saat ini saya sedang benar-benar “down”….biasanya nggak butuh waktu lama untuk “up” lagi… tapi godaan & cobaan kali ini paling berat, dan semakin lama semakin berat….
Salam untuk semua entrepeneur di luar sana….semoga tabah menghadapi berbagai cobaan yang menghujan…
mmfaozi says
Dari bahasa yang kamu ungkapkan, aku yakin, bahwa pada akhirnya kamu akan sanggup melewatinya.
Apa juga pernah mengalaminya, dan hampir semua orang sukses yang pernah aku temui dan teman-teman dekatku sendiri yang telah jadi pengusaha sukses, pernah mengalaminya.
Kejenuhan, ketidakpercayaan diri, rasa frustasi dan berbagai perasaan buruk lainnya, benar-benar sangat kuat aku rasakan.
Cara yang paling mudah biasanya adalah ketemu temen pengusaha yang telah sukses, yang enak untuk di ajak bicara (satu paradigma), yang kita bisa termotivasi darinya.
Jangan bicarakan masalah dan kegelisahan diri kita terhadap bisnis yang sedang kita bangun dengan orang-orang yang berbeda paradigma dengan kita, misalnya dengan para pekerja, sekalipun mereka telah sukses di dunia kerja. Karena cara pandang mereka yang berbeda akan sulit memahami masalah kita dan membuat kita semakin kehilangan semangat. Biarlah mereka tetap menjadi seorang sahabat, tetapi bukan untuk memecahkan masalah bisnis kita.
Seringkali juga, dalam masa-masa seperti itu, kita merasa jadi pengangguran, karena seakan-akan tidak ada yang bisa dikerjakan. Itu juga pernah dialami oleh banyak pengusaha sukses di awal-awalnya.
Perlahan-lahan, kita akan sampai di mana kita tidak punya lagi waktu luang karena begitu banyaknya kerjaan yang tiba-tiba datang, dan seakan-akan tidak pernah berhenti.
Perumpamaanya seperti orang yang memasak air, kalau suhunya belum 100 derajat maka air tetap belum mendidih, sekalipun sudah sampai 99 derajat. Padahal hanya kurang satu derajat. Itulah batas dimana air akan menjadi mendidih secara tiba-tiba ketika dinaikkan satu derajat menjadi 100 derajat. Seterusnya, akan terasa mudah dan nyaman bagi kita untuk terus menaikkannya menjadi 101, 105, 110, 150 atau 200 derajat, karena air yang sudah mendidih.
Kita tidak pernah tahu sampai di mana diri kita, barangkali kita sudah hampir sampai pada titik batas, barangkali kita sudah 95 derajat atau 99 derajat. Kita hanya perlu kembali melangkah dan menikmati “down” yang hinggap pada diri kita dan melewatinya.
Cara lain adalah mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga ketenangan dan semangat untuk jadi orang yang bermanfaat akan selalu hadir dalam diri kita. Sehingga kita bisa selalu menikmati dan mensyukuri setiap moment kehidupan kita.
Terima kasih sudah mau berbagi, dan terimakasih telah memberi saya tentang pelajaran baru.
mitraca says
A thing about Car is that it is very expensive and unrealiable.
loyal customers could be covered from as little as IDR 211.
That’s what 30% of new customers with a Visa paid for Visa, comprehensive cover.
Based on new policies sold direct between a 6 December 2019 and 2 December 2015. The premium you pay will depend on your circumstances and the cover you choose.
Standard Car Insurance is arranged and administered by Tesco Bank and is underwritten by a select range of insurers.
Our service lets you compare over 20 insurance brands in one search, and we provide much more than the price of the deferred – we show you the levels of shielded so that you can make a more informed decision.
Airplane insuranace, Boats modifications and planning, and Boats maintenance are already included in this wonderful package. Just try our golds package. this offer will be stopped on May 2004